Mereka berdua berjalan di bawah terik matahari. Sembari bergandengan tangan, menyusuri jalanan di perempatan lampu merah itu. Mata mereka berkeliling mencari-cari dan menunggu waktu yang tepat untuk masuk dan berjalan diantara benda beroda yang berlalu-lalang.

Dua orang anak itu berbicara satu sama lain, bercanda, dan tertawa. Berlari-larian dan berkejar-kejaran sembari menunggu. Di bawah terik matahari itu. Keceriaan tergambar di wajah mereka, namun kesedihan terukir di mata mereka. Sepertinya, senyum merekalah satu-satunya senjata yang dimiliki untuk hidup di dunia ini.

Dan ketika semua benda beroda itu berhenti bergerak, mereka turun dari tempat permainan mereka, berhenti tersenyum, dan kesedihan tergambar jelas di wajah mereka. Mereka menghampiri setiap mahluk yang berada di benda beroda tersebut sembari menengadahkan tangan dan meminta. Sedikit rejeki untuk menyambung tawa mereka, dan menutupi kesedihan mereka.

Ya, mereka...dua orang anak yang menikmati hidup dengan menderita, atau menderita karena kenikmatan hidup? Kenikmatan hidup orang lain saat mereka menderita. Mereka terlalu muda, dan terlalu polos untuk merasakan pahitnya kehidupan serta teriknya panas matahari. Bagaikan seonggok kertas putih yang hanya ditulisi oleh tinta hitam kehidupan.